Jumat, 16 Januari 2009

Kata dan Leksem


KONSEP KATA DAN LEKSEM

Lyons menggunakan istilah ‘leksem’ (lexeme) untuk menyebut istilah ‘kata’, sebagai satuan yang lebih abstrak yang terdapat pada bentuk-bentuk infleksional yang berbeda berdasarkan kaidah sintaksis tertentu.

Matthews membedakan pengertian kata atas beberapa pengertian. Menurut Pengertian 1, kata ialah apa yang disebut kata fonologis atau ortografis (phonological or orthographical word). Menurut pengertian 2, kata ialah apa yang disebut leksem (lexeme); dan kata menurut Pengertian 3 ialah apa yang disebut kata gramatikal (gramatical word). Kata menurut Pengertian 1 semata-mata didasarkan atas wujud fonologis atau wujud ortografisnya sedangkan menurut pengertian 2 dan 3 berhubungan dengan konsep derivasi dan infleksi. Oleh karena itu, pembicaraan tentang konsep leksem tak dapat dipisahkan dari konsep derivasi dan infleksi. Ihwal pemisahan antara derivasi dan infleksi itu sudah merupakan persoalan klasik untuk bahasa-bahasa Indo-Eropa yang memang tergolong bahasa fleksi atau infleksi; tetapi hal itu tampaknya masih meragukan untuk diterapkan pada Bahasa Indonesia (BI) yang tergolong aglutinasi. Namun dengan terdapatnya kepustakaan yang lebih mutakhir diharapkan pengetahuan yang lebih tajam untuk memahami konsep derivasi dalam kaitannya dengan infleksi dapat diterapkan pada bahasa kita.

Sehubungan dengan pernyataan di atas, secara jelas membagi morfologi atas dua bidang, yaitu morfologi infleksional (inflectional morphology), dan morfologi leksikal (lexical morphology) atau morfologi derivasional (derivational morphology). Dalam kaitan ini, Matthews membedakan antara proses infleksi dan proses pembentukan kata (word-formation). Yang terakhir itu mencakup derivasi (tipe; generate ’membangkitkan’ yang termasuk verba menjadi generation ’pembangkitan, generasi’ yang termasuk nomina) dan pemajemukan atau komposisi. Pemilahan itu mengisyaratkan bahwa yang termasuk dalam lingkup pembentukan kata ialah morfologi derivasional atau morfologi leksikal, sedangkan untuk infleksional tidak.

Morfologi leksikal mengkaji kaidah-kaidah pembentukan kata yang menghasilkan kata-kata baru secara leksikal berbeda atau beridentitas baru dibandingkan dari kata yang menjadi dasarnya. Hal itu bersesuaian dengan pernyataan Marchand ’Word formation is the branch of the science of language which studies the pattern on which a language form new lexical units, i.e. word’. Jadi, menurut Marchand pembentukan kata adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji pola-pola dimana sebuah bahasa membentuk satuan-satuan leksikal baru, yaitu kata. Dengan demikian yang relevan bagi pembentukan kata ialah yang termasuk morfologi leksikal atau morfologi derivasional; sedangkan morfologi infleksional sebenarnya tidak termasuk ke dalam pembentukan kata yang dimaksudkan di sini karena pembentukan itu hanya menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama.

Ihwal perbedaan antara derivasi dan infleksi, Nida memberi uraian sebgai berikut:

(1) Pembentukan derivasional termasuk jenis kata yang sama dengan kata tunggal (yang termasuk sistem jenis kata tertentu) (misalnya, singer ‘penyanyi’ (nomina), dari verba (to) sing ‘menyanyi’, termasuk jenis kata yang sama dengan kata boy ‘anak laki-laki’), sedangkan pembentukan infleksional tidak (misalnya, verba polimorfemis walked tidak termasuk beridentitas sama dengan verba monomorfemis yang manapun juga dalam sistem morfologi bahasa Inggris).

(2) Secara statistik, afiks derivasional lebih beragam (misalnya, dalam bahasa Inggris terdapat afiks-afiks pembentuk nomina seperti; -er, -ment, -ion, -ation, -ness, (singer, arrangement, correction, nationalization, stableness), sedangkan afiks infleksional dalam bahasa Inggris kurang beragam (-s (dengan segala variasinya), -ed1, -ed2, -ing; work, worked1, worked2. working).

(3) Afiks-afiks derivasional dapat mengubah kelas kata, sedangkan afiks infleksional tidak.

(4) Afiks-afiks derivasional mempunyai distribusi yang lebih terbatas (misalnya, afiks derivasional –er diramalkan tidak selalu terdapat pada dasar verba untuk membentuk nomina), sedangkan afiks infleksional mempunyai distribusi yang lebih luas.

(5) Pembentukan derivasional dapat menjadi dasar bagi pembentukan berikutnya (sing (V) → singer (N) → singers (N)), sedangkan pembentukan infleksional tidak.

Dalam pada itu, Verhaar menyatakan bahwa semua perubahan afiksasi yang melampaui identitas kata disebut derivasi, sedangkan yang mempertahankan identitas disebut infleksi. Prinsip yang diikuti ialah setiap pembentukan yang menghasilkan jenis kata baru (pembentukan derivasional) selalu berarti pula perpindahan identitas leksikalnya (menulis (V) → Penulis (N); tetapi tidak sebalikya, setiap perpindahan identitas leksikal berarti pula perpindahan jenis kata. Misalnya, verba berangkat dan memberangkatkan. Verba memberangkatkan dibentuk dari berangkat. Sekalipun kedua kata itu sama-sama termasuk verba, namun kedua-duanya memiliki identitas leksikal yang berbeda. Verba berangkat termasuk intransitif, sedangkan memberangkatkan termasuk transitif. Karena identitas leksikalnya berbeda maka referennya juga berbeda. Hal serupa juga dapat dilihat pada contoh lurahkelurahan atau professor → professorship. Sekalipun kata-kata lurah dan kelurahan serta professor dan professorship sama-sama termasuk nomina, namun kata-kata ini memiliki identitas leksikal yang berbeda. Hal itu diketahui berdasarkan tes dekomposisi leksikal sebagaimana diusulkan Verhaar atau berdasarkan penguraian fitur semantiknya. Nomina lurah dan professor masing-masing berciri semantik bernyawa (animate), manusia (human), sedangkan kelurahan dan professorship berciri semantik tak bernyawa (inanimate), bukan manusia (nonhuman). Uraian yang diberikan Verhaar itu pada dasarnya juga bersesuaian dengan uraian yang diberikan oleh Bauer dan juga Matthews.

Bauer dan juga Matthews melengkapi uraiannya dengan seperangkat kriteria operasional untuk membedakan derivasi dan infleksi. Bauer menyatakan bahwa derivasi adalah proses morfemis yang menghasilkan leksem baru, sedangkan infleksi ialah proses morfemis yang menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah leksem yang sama. Atau, menurut rumusan Marchand, morfem afiks infleksional membentuk bentuk-bentuk kata yang berbeda dari sebuah kata yang sama, tidak membentuk sebuah leksikal baru. Dengan demikian, afiks infleksional tidak relevan bagi pembentukan kata. Dengan rumusan lain, pembentukan infleksional menghasilkan bentuk-bentuk kata yang berbeda dalam sebuah paradigma, sedangkan pembentukan derivasional menghasilkan kata yang termasuk paradigma yang berbeda. Hal itu dapat dicontohkan sebagai berikut:

(I) work

(He) works

(They) worked 1

(I have) worked 2

(He is) working

WORK

Bentuk-bentuk word, works, worked, working adalah bentuk-bentuk yang berbeda dari leksem yang sama, yaitu WORK (leksem dilambangkan/dituliskan dengan huruf besar). Morfologi yang berkaitan dengan bentuk-bentuk kata tersebut termasuk infleksional. Dari leksem WORK dapat dibentuk leksem baru WORKER yang termasuk nomina. Pembentukan kata dari WORK → WORKER itu disebut derivasional. Jadi, berdasarkan kaidah-kaidah gramatikal yang teramalkan dapat dinyatakan bahwa leksem WORK dapat berwujud work, works, worked1, worked2, atau working. Demikian pula dari leksem WORKER dapat diramalkan hadirnya bentuk-bentuk kata worker dan workers seperti halnya dari leksem BOY dapat diramalkan hadirnya bentuk-bentuk kata boy dan boys. Jadi, paradigma seperti work, works, worked1, worked2, working atau paradigma seperti worker, workers masing-masing termasuk paradigma infleksional. Bedanya, yang pertama terdapat dalam paradigma verba dan yang kemudian terdapat dalam paradigma nomina.

Ciri keteramalan atau yang bersifat otomatis pada pembentukan infleksional sangat ditekankan baik oleh Aronoff maupun oleh Bauer. Maksudnya, setiap dasar verba bahasa Inggris akan mengalami paradigma infleksional sperti pada leksem WORK tersebut sekalipun secara permukaan bentuknya bervariasi. Hal serupa dapat dijumpai pada bahasa Indonesia. Setiap dasar V yang termasuk transitif diramalkan memiliki bentuk-bentuk meng-D, di-D, kau-D, kadang-kadang ter-D (D:dasar) berdasarkan kaidah yang dapat diterangkan. Misalnya dasar pukul atau tulis diramalkan memiliki bentuk-bentuk kata:

(Saya) memukul (dia) atau menulis (surat)

(Saya) dipukul (-nya) atau (surat) ditulis (-nya)

(Dia) kupukul atau (surat) kutulis

(Dia) kaupukul atau (surat) kautulis.

Munculnya bentuk memukul/menulis adalah kalu subjek (S) berperan pelaku (agen) atau kalimat itu berfokus pelaku; munculnya bentuk dipukul/ditulis dan kupukul/kutulis atau kaupukul/kautulis manakala S berperan bukan sebagai pelaku atau barangkali sebagai pasien (berfokus pasien). Munculnya benuk ku-D adalah manakala pelaku orang pertama, bentuk kau-D manakala pelaku orang kedua dan munculnya di-D manakala pelaku perbuatan netral terhadap orang pertama atau orang kedua. Munculnya bentuk ter-D bersifat tak teramalkan karena kendala semantik.

Berbeda dari pembentukan infleksional, pembentukan derivasional bersifat tak teramalkan. Bagaimanapun juga diakui terdapatnya sifat idiosinkretis (keanehan-keanehan, tak pasti) pada pembentukan derivasional. Misalnya, meskipun terdapat pola pembentukan WORK: WORKER, WRITE: WRITER, SPEAK: SPEAKER tetapi tidak terdapat AGREE; *AGREER. Demikian pula terdapat keanehan semantik pada pembentukan derivasional. Misalnya, kata worker di samping berarti ’orang yang bekerja’ juga dapat berarti ’buruh, karyawan’.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap proses morfologis yang menghasilkan kata yang secara leksikal beridentitas baru dianggap sebagai pembentukan derivasional. Misalnya, kata-kata penulis, tulisan, dan penulisan yang memiliki morfem dasar tulis harus dimasukkan sebagai pembentukan derivasional berdasarkan referennya maupun berdasarkan fitur-fitur semantiknya. Perhatikan pula penegasan Spencer, ’Since inflected forms are just variants of one and the same word, inflecting a word shouldn’t cause it to change it’s category. … derivation (…) includes a change in syntactic category’.

Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa leksem adalah satuan lingual hasil abstraksi dari sebuah paradigma; atau, leksem adalah satuan abstrak dan satuan terkecil dari sebuah paradigma. Leksem merupakan satuan fundamental dari lesikon sebuah bahasa. Leksem sebagai satuan dasar dalam leksikon yang berbeda dengan kata sebagai sartuan gramatikal.Dengan kata lain, sebagai satuan abstrak terkecil leksem dapat diwujudkan dalam bentuk kata gramatikal dalam sebuah paradigma. Misalnya, WRITER dapat berwujud kata gramatis writer atau writers. Dalam paradigma tersebut, leksem WRITER tetap merupakan satuan terkecil.

Menurut Harimurti Kridalaksana, leksem adalah: 1. Satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari berbagai bentuk inflektif suatu kata, contoh: sleep, slept, sleeps, sleeping bentuk leksem dari SLEEP; 2. Kata atau frase yang merupakan satuan bermakna; satuan terkecil dari leksikon.Sedangkan kata adalah: 1. Morfem atau kombinasi morfem yang oleh bangsawan dianggap sebagai satuan terkecil yang dapat diujarkan sebagai bentuk yang bebas; 2. Satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri yang terjadi dari morfem tunggal, misalnya: batu, rumah, datang dan gabungan morfem, misalnya: pejuang, mengikuti, parasut. Menurut Ramlan kata ialah satuan bebas yang paling kecil, contoh: rumah, duduk, penduduk, pendudukan.Dalam hal ini Ramlan tidak menggunakan istilah leksem.

Menurut Hocket, afiks juga leksem yang lalu membagi leksem atas leksem gramatikal, leksem leksikal, dan leksem semantik. Sedangkan kata adalah suatu kesatuan yang dapat dianalisis atas komponen-komponen yang disebut morfem. Dalam hirarki gramatikal merupakan satuan terkecil baru dapat ditandai setelah kata terbentuk melalui proses morfologis.Di dalam kata ada 2 jenis morfem, yaitu:

1. Morfem leksikal, yang makna dan bentuknya sedikit banyak sama dengan leksem; dan

2. Morfem gramatikal yang satuan pembentuk kata yang sedikit banyak menyebabkan leksem itu mempunyai makna gramatikal.

Skema terbentuknya kata:Leksem → Proses Morfologi → Kata

Bahan dasar kata ialah leksem, dan karena proses itu menyangkut pembentukan kata, maka subsistem itu disebut morfologi leksikal atau morfologi derivatif.

Proses Morfologi yang kita kenal:

1. Derivasi zero

2. Afiksasi

3. Reduplikasi

4. Revendikasi

5. Derivasi balik

6. Perpaduan.

Fonotaktik


PROBLEMATIKA FONOTAKTIK
DALAM BAHASA INDONESIA

A. Pendahuluan

Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mempunyai tanggung jawab keilmuan kepada peserta didik dalam memberikan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Materi pembelajaran yang disajikan hendaknya mencerminkan kazanah bahasa Indonesia yang selaras dan sejalan dengan perkembangan peradaban rakyat Indonesia. Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sebaiknya juga melakukan pengkajian terhadap berbagai persoalan terhadap perkembangan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan kaidah kebahasaannya, termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak dinamakan fonotaktik (Moeliono, 1993:52).

Bahasa Indonesia juga mempunyai kaidah semacam itu. Kaidah fonotaktik itulah yang menyebabkan kita dapat merasakan secara ituitif bentuk mana yang berterima (kelihatan seperti kata Indonesia) , meskipun belum pernah kita dengar/lihat sebelumnya dan mana yang tidak berterima.

Pola fonotaktik adalah kaidah pergeseran bunyi dalam pelafalan kata, baik kata dasar atau kata turunan akibat pengaruh bunyi yang ada di lingkungannya ( baik sebelum dan sesudahnya). Pergeseran ini menimbulkan variasi bunyi dari satu fonem yang sama.

B. Permasalahan

Berdasarkan paparan pendahuluan di atas, pada kesempatan ini penulis akan mencoba mengungkapkan permasalahan, “Bagaimanakah deretan fonem yang lazim dan yang tidak lazim dalam bahasa Indonesia?”

C. Pembahasan

Seperti telah disebutkan pada pendahuluan di atas, bahwa setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri kaidah kebahasaannya, termasuk di dalamnya kaidah deretan fonemnya. Deretan fonem yang terdapat dalam bahasa Indonesia cukup bervariasi seperti halnya deretan fonem bahasa-bahasa lain yang ada di dunia ini. Deretan fonem tersebut meliputi deretan vokal, deretan konsonan, dan deretan vokal dan konsonan dalam satu suku kata.

1. Deretan vokal dalam bahasa Indonesia

Deretan vokal biasa merupakan dua vokal yang masing-masing mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam suku kata yang berbeda. Deretan dua vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

/iu/ : tiup, iur, nyiur

/io/ : kios, radio, biola

/ia/ : tiap, dia, giat

/ei/ : mei

/ea/ : beasiswa, kreasi

/eo/ : feodal, beo, pemeo

/ae/ : daerah

/ai/ : saingan

/au/ : kaum, mau

/oa/ : soal, doa

/ui/ : kuil, buih

/ua/ : dua, puasa, suap

/ue/ : kue, duet

/uo/ : kuota

/əi/ : seiket

/əe/ : seekor

/əa/ : seakan

/əu/ : seutas

/əə/ : keenam.

Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Apabila ada bentuk/bunyi yang di dalamnya menggunakan deretan vokal tersebut tidak akan terasa asing kita.

2. Deretan konsonan dalam bahasa Indonesia

Seperti halnya deretan vokal, deretan konsonan dalam bahasa Indonesia juga cukup bervariasi. Adapun variasi dari deretan konsonan tersebut adalah :

a. Deretan konsonan dalam satu suku kata

1). Jika dua konsonan berderet dalam satu suku kata yang sama, maka konsonan yang pertama hanyalah /p/, /b/, /t/, /k/, /g/, /f/, /s/, dan /d/, sedangkan konsonan yang kedua hanyalah /l/, /r/, /w/, atau /s/, /m/, /n/, dan /k/

/pl/ : pleonasme, pleno, taplak

/bl/ : blangko, gamblang

/kl/ : klinik, klasik

/gl/ : global, gladi

/fl/ : flamboyan, flu

/sl/ : slogan, Slip

/br/ : brantas, obral, ambruk

/tr/ : tragedi, mitra

/dr/ : drama, drastis, adres

/kr/ : kriminal, akrab, krupuk

/gr/ : gram, granat

/fr/ : fragmen, diafragma, frustasi

/sr/ : pasrah, Sragen

/ps/ : psikologi, pseudo, psikiater

/ks/ : ekstra, eksponen

/dw/ : dwifungsi, dwiwarna

/sw/ : swalayan, swasembada

/kw/ : kwintal, kwitansi

/sp/ : sponsor, spanduk

2). Jika tiga konsonan berderet dalam satu suku kata, maka konsonan pertama selalu /s/, yang kedua /t/ atau /p/, dan yang ketiga /r/ atau /l/.

/str/ : strategi, instruksi

/spr/ : sprei

/skr/ : skripsi, manuskrip

/skl/ : sklerosis

b. Deretan dua konsonan dalam suku yang berbeda adalah sebagai berikut :

/mp/ : empat, pimpin

/mb/ : ambil, gambar

/nt/ : untuk, ganti

/nd/ : indah, pandang

/ňc/ : lancar, kunci

/ňj/ : janji, banjir

/ŋk/ : engkau, mungkin

/ŋg/ : angguk, tinggi

/ŋs/ : bangsa, angsa, mangsa

/ns/ : insaf, insan, insang

/rb/ : kerbau, terbang, korban

/rd/ : merdu, merdeka, kerdil

/rg/ : harga, pergi, sorga

/rj/ : kerja, terjang, sarjana

/rm/ : permata, cermin, derma

/rn/ : warna, purnama, ternak

/rl/ : perlu, kerling, kerlip

/rt/ : arti, serta, harta

/rk/ : terka, perkara, murka

/rs/ : bersih, kursi, gersang

/rc/ : percaya, karcis, percik

/st/ : isteri, pasti, dusta

/sl/ : asli, tuslah, beslit

/kt/ : waktu, bukti, dokter

/ks/ : paksa, laksana, saksama

/?d/ : takdir

/?n/ : laknat, makna, yakni

/?l/ : takluk, maklum, taklim

/?r/ : makruf, takrif

/?w/ : dakwa, takwa

/pt/ : sapta, optik, baptis

/ht/ : sejahtera, tahta, bahtera

/hk/ : bahkan

/hš/ : dahsyat

/hb/ : sahbandar

/hl/ : ahli, mahligai, tahlil

/hy/ : sembahyang

/hw/ : bahwa, syahwat

/sh/ : mashur

/mr/ : jamrut

/ml/ : jumlah, imla

/lm/ : ilmu, gulma, palma

/gn/ : signal, kognitif

/np/ : tanpa

//sb/ : asbak, asbes, tasbih

/sp/ : puspa, aspirasi, aspal

/sm/ : basmi, asmara

/km / : sukma

/ls/ : palsu, balsem, pulsa

/lj/ : salju, aljabar

/lt/ : sultan, salto

/pd/ : sabda, abdi

/gm/ : magma, dogma

/hd/ : syahdan, syahdu

Dua variasi deretan konsonan tersebut di atas adalah deretan konsonan yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia.

3. Deretan vokal dan konsonan dalam satu suku kata

Kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas satu suku kata atau lebih. Betapapun panjangnya suatu kata, wujud suku kata yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah. Suku kata dalam bahasa Indonesia terdiri atas vokal dan konsonan . Berikut adalah deretan vokal (V) dan konsonan (K) yang membentuk suku kata dalam bahasa Indonesia beserta contoh katanya:

a. V : a-mal, su-a-tu, tu-a

b. VK : ar-ti, ber-il-mu, ka-il

c. KV : pa-sar, sar-ja-na, war-ga

d. KVK : pak-sa, ke-per-lu-an, pe-san

e. KKV : slo-gan, kop-pra

f. KKVK : trak-tor, a-trak-si

g. KVKK : teks-til, kon-teks-tual, mo-dern

h. KKKV : stra-te-gi, stra-ta

i. KKKVK : struk-tur, in-struk-tur

j. KKVKK : kom-pleks

k. KVKKK : korps.

Deretan vokal dan konsonan yang membentuk satu suku kata seperti tersebut di atas itulah yang berterima dalam bahasa Indonesia, selain itu tak berterima.

D. Simpulan

Setiap bahasa memiliki kaidah deretan fonem. Kaidah itulah yang mengatur deretan fonem ada dalam suatu bahasa dan yang tidak ada dalam suatu bahasa. Dengan kata lain kaidah itulah yang mengatur deretan fonem yang berterima dan yang tidak berterima dalam suatu bahasa. Pada waktu selanjutnya, mungkin terjadi perkembangan atau perubahan yang berbeda dengan kaidah yang ada. Hal tersebut bisa diterima jika berterima dan lazim.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Moeliono, M. Anton (Peny.). 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Perum Balai Pustaka.

Samsuri. 1978. Analisa Bahasa : Memahami Bahasa Secara Ilmiah. Jakarta: Erlangga.

Verhar, J.W.M. 1982. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pembelajaran Kalimat Aktif dan Pasif



KONSEP KALIMAT AKTIF-PASIF
DAN KAIDAH UMUM PEMASIFAN
DALAM BAHASA INDONESIA

1. Pengantar

Kalimat aktif dan pasif sering menjadi perbincangan. Perbincangan tersebut sering berubah menjadi sebuah pertentangan. Materi yang dipertentangkan bermacam-macam, di antaranya yang berkaitan dengan konsep kalimat aktif dan kalimat pasif, pembentukan kalimat pasif dari kalimat aktif, dan penentuan peran-peran fungsi sintaksis dalam sebuah kalimat aktif maupun kalimat pasif. Tidaklah terlalu mengherankan apabila pertentangan itu terjadi. Sebenarnya, pokok permasalahannya adalah karena perbedaan sudut pandang semata. Dalam segala hal, sebuah objek akan dipahami secara berbeda-beda apabila sudut pandangnya berbeda-beda. Demikian juga tentang kalimat aktif dan kalimat pasif ini. Namun demikian, sebenarnya dari perbedaan-perbedaan sudut pandang tersebut dapat kita ambil sebuah simpulan tentang kalimat aktif dan kalimat pasif ini. Berbagai sudut pandang tentang kalimat aktif dan kalimat pasif yang menimbulkan pertentangan itu akan disajikan dalam tulisan ini. Agar tulisan ini lebih jelas alurnya, maka pembahasan akan dibagi dalam dua bagian, yaitu 1) konsep kalimat aktif dan kalimat pasif, dan 2) kaidah-kaidah umum pembentukan kalimat pasif dari kalimat aktif.

Pada bagian akhir tulisan ini dijelaskan tentang ’konstruksi’ pasif menurut Bambang Kaswanti Purwo (BKP) berikut penggolongannya atas ’konstruksi’ pasif tanpa agen dan dengan agen. ’Konstruksi’ pasif menurut BKP perlu disajikan dalam tulisan ini karena konsep tersebut cukup unik. Keunikan tersebut ada karena BKP tidak mempertentangkan ’konstruksi’ pasif dengan ’konstruksi’ aktif secara khusus, seperti halnya linguis-linguis lainnya. Untuk lebih jelasnya marilah kita cermati isi tulisan ini.

2. Konsep kalimat aktif dan kalimat pasif

Dalam bahasa-bahasa fleksi seperti bahasa Latin, Yunani, Sansekerta, bahkan bahasa Semit seperti bahasa Arab, terdapat bentuk-bentuk kata kerja yang disebut aktif dan pasif. Dalam bahasa Latin, misalnya, pasangan bentuk di bawah ini disebut aktif dan pasif.

Aktif Pasif

deleo - deleor ‘saya membinasakan - saya dibinasakan’

deles - deleris ‘engkau membinasakan - engkau dibinasakan’

delet - deletur ‘dia dibinasakan - dia dibinasakan’

delemus - delemus ‘kami membinasakan - kami dibinasakan’

delent - delentur ‘mereka membinasakan - mereka dibinasakan’

Dalam bahasa Arab pasangan berikut adalah bentuk aktif dan pasif

Aktif Pasif

qatala - qutila ‘dia membunuh - dia dibunuh’

qatalta - qutilta ‘engkau membunuh - engkau dibunuh’

qataltu - qutiltu ‘saya membunuh - saya dibunuh’

qatalu - qutilu ‘mereka membunuh - mereka dibunuh’

qatalna - qutilna ‘kami membunuh - kami dibunuh’

Melihat kedua bentuk perubahan kata kerja di atas, baik dalam bahasa Latin maupun dalam bahasa Arab, dapat ditegaskan bahwa sebuah bentuk kata kerja disebut sebagai bentuk aktif bila persona yang terkandung dalam bentuk kata kerja itu menjadi agens atau pelaku yang melakukan perbuatan itu. Sebaliknya, sebuah bentuk kata kerja disebut sebagai bentuk pasif bila persona yang terkandung dalam bentuk kata kerja itu menjadi patiens, yaitu yang menderita hasil tindakan itu.

Jadi, tampaklah bahwa pengertian-pengertian aktif dan pasif dalam bahasa-bahasa fleksi harus dilihat dari kesatuan bentuk kata kerja dengan personanya. Bagaimana dalam bahasa Indonesia? Dalam bahasa Indonesia konsep kalimat aktif dan kalimat pasif dapat dilihat dari pandangan yang berbeda. Konsep pertama merupakan konsep yang berasal dari pandangan tradisional. Sedangkan konsep yang kedua berdasarkan pandangan tatabahasa transformatif. Menurut tatabahasa tradisional, dalam bahasa Indonesia terdapat tiga bentuk pasif sebagai pasangan bagi satu bentuk aktif, yaitu:

Aktif Pasif

Saya menangkap ayam. (1) Ayam kutangkap.

Engkau menangkap ayam. Ayam kautangkap.

Dia menangkap ayam. Ayam ditangkapnya.

Amat menangkap ayam. Ayam ditangkap Amat.

Kami menangkap ayam. Ayam kami tangkap.

(2) Ayam itu saya tangkap.

Ayam itu engkau tangkap.

Ayam itu dia tangkap.

Ayam itu Amat tangkap.

Ayam itu kami tangkap.

(3) Ayam itu ditangkap oleh saya.

Ayam itu ditangkap oleh engkau.

Ayam itu ditangkap oleh dia.

Ayam itu ditangkap oleh Amat.

Ayam itu ditangkap oleh kami.

Dengan tidak mempersoalkan bentuk mana dari ketiga kemungkinan bentuk pasif di atas merupakan bentuk baku, maka bila contoh-contoh di atas dibandingkan dengan bentuk pasif dalam bahasa Barat, tampak ada perbedaan besar. Kata-kata ku, kau, dan kami pada kelompok pasif I, serta kata saya, engkau, dia, Amat, dan kami pada kelompok II mempunyai pertalian yang lebih erat dengan kata kerja dibandingkan dengan kata ayam; dan semua kata itu menjadi agens bukan menjadi patiens dari kata tangkap. Berdasarkan penjelasan ini maka pengertian diatesis aktif dan pasif dalam bahasa Indonesia harusnya tidak ada, atau paling banyak harus diberi batasan yang agak lain.

Mengingat adanya bentuk-bentuk klitik ku dan kau untuk persona I dan II di depam kata kerja tersebut maka demi kesejajaran dan kelengkapan pola, harus ditarik kesimpulan bahwa bentuk di pada kata ditangkap pada mulanya adalah bentuk ringkas atau klitik untuk kata dia.

Secara historis dapat dijelaskan proses terjadinya bentuk me- dan di- dalam kalimat yang biasanya disebut aktif dan pasif sebagai berikut.

Pertama, kalimat yang mementingkan tindakan atau agens akan menggunakan bentuk me- untuk predikat verbal-transitif dengan struktur Subjek – Predikat – Objek.

Contoh:

Aku menangkap ayam.

Engkau menangkap ayam.

Dia menangkap ayam.

Amat menangkap ayam

Tetapi, bila gatra objeknya dipentingkan, dapat digunakan berturut-turut beberapa cara berikut. Cara yang pertama adalah mempertahankan bentuk dan struktur di atas, tetapi objek yang dipentingkan itu diberi tekanan keras.

(4) Aku menangkap ayam.

Engkau menangkap ayam.

Dia menangkap ayam.

Amat menangkap ayam.

Kemungkinan berikutnya adalah menempatkan objek pada awal kalimat, dengan konsekuensi harus diadakan perubahan bentuk kata sesuai dengan perubahan susunan tersebut. Kita lalu mendapat bentuk pasif sebagai berikut.

(5) Ayam itu aku tangkap.

Ayam itu engkau tangkap.

Ayam itu dia tangkap.

Ayam itu Amat tangkap.

Bentuk kedua memperlihatkan bahwa bila perbuatan tidak dipentingkan lagi maka prefiks me- tidak akan digunakan lagi. Sementara itu, gatra pelaku (agens) aku, engkau, dia, dan Amat masih diberi tempat, namun peranannya juga kurang sehingga posisinya bergeser ke belakang.

Taraf pementingan gatra objek itu dapat lebih ditingkatkan lagi sehingga perhatian kita tercurah hanya pada gatra objeknya itu; dalam hal ini pelaku lalu mengambil bentuk klitik ku, kau, dan di. Penggunaan bentuk klitik di untuk persona III tunggal digunakan juga untuk orang III yang menggunakan nomina.

Karena persona III tunggal yang dinyatakan dengan di itu digunakan juga orang III yang menggunakan nomina (Amat, ayah, adik, dan sebagainya), lama-kelamaan fungsi di sebagai bentuk klitik (ringkas) dia menjadi kabur. Karena itu, kemudian perlu diberi keterangan mengenai siapa yang melakukan tindakan tiu dengan mempergunakan kata oleh. Adapun arti kata oleh adalah hasil atau perbuatan. Sebab itu, kelompok kata seperti oleh Amat, oleh dia, dan lain-lain dapat diartikan dengan perbuatan Amat, perbuatan dia, dan sebagainya, untuk mengeksplisitkan lagi di yang ditempatkan di depan kata kerja itu.

(6) Ayam itu kutangkap.

Ayam itu kautangkap.

Ayam itu ditangkap olehnya.

Ayam itu ditangkap oleh Amat.

Ayam itu kami tangkap.

Penggunaan di untuk pelaku III nomina, menjadi model untuk pembentukan secara analogi bagi persona I dan II tunggal dan jamak, yaitu dengan menambahkan lagi penjelasan olehku, olehmu, oleh kami, oleh kamu, di belakang kata kerja.

(7) Ayam itu ditangkap olehku.

Ayam itu ditangkap olehmu.

Ayam itu ditangkap oleh kami.

Ayam itu ditangkap oleh kamu.

Konvergensi bentuk untuk semua persona ini menjadi langkah terakhir bagi bentuk tanpa pelaku, yaitu pelaku tindakan menjadi sama sekali tidak dipentingkan sehingga dapat diabaikan sama sekali. Dengan demikian, kita mendapat bentuk sebagai berikut.

(8) Ayam ditangkap.

Rumah didirikan.

Buku itu dibaca.

Karena kita menerima adanya kenyataan mengenai bentuk dengan pementingan agens atau pementingan patiens, kita dapat menerima adanya semacam bentuk pasif dalam bahasa Indonesia, yang tidak sejajar dengan pasif dalam bahasa-bahasa fleksi. Dari semua peluang bentuk pasif seperti dikemukakan di atas, bentuk yang keempat tidak diterima sebagai bentuk pasif baku karena merupakan pembentukan analogi yang salah.

Menurut tata bahasa transformatif, konsep tentang kalimat aktif dan pasif bisa dipahami dari peran fungsi sintaksisnya, terutama subjeknya. Pada kalimat aktif, subjek (S) berperan sebagai pelaku, sedangkan pada kalimat pasif, S berperan sebagai penderita. Untuk mengetahui lebih lanjut karakteristik keduanya, dapat diperhatikan contoh-contoh berikut.

(9) Alya menggendong boneka

(10) Boneka digendong oleh Alya.

(11) Boneka digendong Alya

Bila dicermati, kalimat (9) adalah kalimat aktif serta kalimat (10) dan (11) adalah kalimat pasif. Yang berperan sebagai pelaku pada ketiganya adalah Alya. Pada (9) Alya berfungsi sebagai S; pada (10) dan (11) Alya berfungsi sebagai objek (O). Dengan demikian, terlihat bahwa pada kalimat aktif, S-nya berperan sebagai pelaku atau pelakunya berfungsi sebagai S, sedangkan pada kalimat pasif, pelakunya bukanlah S.

Pada (9) boneka berfungsi sebagai O dengan peran sebagai penderita. Peran penderita juga terdapat pada boneka dalam (10) dan (11). Namun, pada (10) dan (11) peran tersebut menduduki fungsi S. Dengan demikian, pada kalimat pasif, S berperan sebagai penderita atau penderita menduduki fungsi sebagai S, sedangkan pada kalimat aktif, peran penderita tidak menduduki fungsi S.

Informasi yang disampaikan oleh (10) dan (11) tidak berbeda. Kehadiran kata depan oleh pada (10) mengindikasikan adanya penekanan pada pelaku. Dengan memperbandingkan keduanya, dapat kita simpulkan bahwa kehadiran oleh pada kalimat pasif tersebut bersifat fakultatif (tidak wajib).

Namun, kata oleh akan menjadi wajib hadir bila O pada kalimat pasif tersebut diletakkan pada awal kalimat, seperti yang terlihat pada (12) berikut.

(12) Oleh Alya boneka digendong.

Hal itu juga mengindikasikan penekanan pada pelaku dalam kalimat pasif. Kadar penekanan pelaku kalimat (12) lebih kuat dari kadar penekanan kalimat (10).

Bila oleh tidak dimunculkan, kalimat itu menjadi tidak berterima, seperti yang terlihat pada (13).

*(13) Alya boneka digendong.

Disamping itu, perhatikan pula kalimat-kalimat berikut.

(14) Saya menggendong adik.

*(15) Adik digendong (oleh) saya.

Kalimat (14) memiliki struktur yang sama dengan kalimat (9). Oleh karena itu, kalimat (14) merupakan kalimat aktif. Sementara itu, kalimat (15) meskipun memiliki struktur yang sama dengan kalimat (10) atau (11), kalimat tersebut bukanlah kalimat yang berterima. Mengapa demikian? Bila dicermati lebih jauh, karakteristik pelaku pada kalimat (10) yang berasal dari (9) dan kalimat (15) yang berasal dari (14), berbeda. Pada (10) pelakunya adalah orang (persona) ketiga, sedangkan pada (15) pelakunya adalah persona kesatu.

Karena karakteristik persona tersebutlah, pemasifan kalimat (14) menghasilkan kalimat (16) berikut.

(16) Adik saya gendong.

Pada (16) adik berfungsi sebagai S dan saya gendong merupakan satu kesatuan (frase) yang berfungsi sebagai P. Benarkah saya gendong merupakan satu kesatuan? Untuk membuktikannya, dapat di perhatikan contoh bandingan berikut.

(17) Aku menggendong adik.

(18) Adik kugendong.

Kugendong pada (18) merupakan satu kesatuan yang erat hubungannya. Bentuk ini tentu sejajar dengan saya gendong pada (16). Bukti lain yang memperkuat bahwa saya gendong pada (16) merupakan satu kesatuan adalah contoh berikut.

(19) Saya telah menggendong adik.

(20) Aku telah saya gendong.

Dengan hadirnya aspek telah, terbukti bahwa antara saya dan gendong tidak dapat dipisahkan, seperti bentukan yang salah berikut.

*(21) Adik saya telah gendong.

Dengan demikian, akan keliru jika menganggap fungsi-fungsi kalimat pada (16) adalah berikut: adik merupakan O, saya merupakan S, dan gendong merupakan P.

Ciri struktur kalimat pasif (16), (18), dan (20) juga terjadi bila pelakunya diisi oleh persona kedua. Oleh karena itu, pemasifan kalimat (22) akan menghasilkan kalimat (23) atau (24) dan bukan kalimat (24a).

(22) Kamu menggendong adik.

(23) Adik kamu gendong.

(24) Adik kaugendong.

*(24a) Adik digendong oleh kamu.

Agar memiliki pemahaman yang lengkap tentang kalimat pasif, perhatikan lagi contoh-contoh berikut.

(25) Saya gendong adik.

(26) Kamu gendong adik.

(27) Dia gendong adik.

(28) Alya gendong adik.

Kalimat (25) adalah kalimat pasif. Mungkin ada keraguan sebab bukankah kalimat aktif adalah kalimat yang S-nya berperan sebagai pelaku dan cirri itu tampak pada (25), yakni saya sebagai S, gendong sebagai P, dan adik sebagai O. Inilah barangkali penyebabnya. Saya berperan sebagai pelaku memang benar, namun saya bukanlah S. Agar tidak bingung, perhatikan sekali lagi kalimat (14) dan (16). Nah, sekarang barangkali akan terasa lebih jelas. Kalimat aktif (14) berubah menjadi kalimat pasif (16). Kalimat (16) berstruktur S/P dengan S adik dan P saya gendong. Kalimat susun tertib tersebut kemudian dapat diinversikan sehingga menjadi (26) dengan P mendahului S. Dengan demikian, jelaslah bahwa kalimat (25) merupakan kalimat pasif inversi, sedangkan kalimat (16) merupakan kalimat pasif susun tertib.

Yang menarik dalam hal ini adalah perbedaan antara kalimat (14) dengan (25). Pada keduanya yang berbeda adalah hadirnya awalan meng- pada kalimat aktif (14) dan hilangnya meng- pada (25). Camkanlah hal itu!

Berdasarkan hal itu, kalimat (26) adalah kalimat pasif inversi sebab kalimat ini berasal dari kalimat pasif susun tertib (23).

Bagaimana halnya dengan kalimat (27)? Benarkah bahwa kalimat (27) merupakan kalimat pasif pula? Bila diamati strukturnya, kalimat (27) merupakan struktur kalimat pasif inversi. Namun, pelaku pada kalimat tersebut adalah persona ketiga. Padahal, bentuk pasif untuk persona ketiga, seperti yang telah dicontohkan pada (10) dan (11), ditandai dengan prefiks di- pada verbanya. Dengan demikian, bentuk yang sudah lazim digunakan di masyarakat seperti itu, sebenarnya merupakan bentukan yang tidak baku.

Berdasarkan hal itu, kalimat (28) merupakan konstruksi kalimat pasif inversi, namun konstruksi yang demikian bukanlah konstruksi yang baku.

Di samping itu, masih ada yang menarik dari konstruksi aktif-pasif dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, perhatikan kalimat berikut.

(29) Saya makan roti.

Konstruksi kalimat di atas sama dengan kalimat (25), yakni kalimat pasif inversi. Namun, jika dicermati lebih jauh kalimat (29) agak berbeda dengan (25). Bila kalimat (25) berasal dari pasif (16) dan pasif (16) berasal dari aktif (14), kalimat (29) bukan berasal dari kalimat aktif (30) berikut).

*(30) Saya memakan roti.

Awalan meng­- pada kalimat aktif seperti (30) tidak lazim digunakan. Kata kerja makan sejajar dengan mandi, yang dalam bentuk aktif bukan memandi. Kata kerja makan dan mandi inilah yang disebut dengan kata kerja aus. Dalam kalimat aktif keduanya berbeda sebab makan merupakan kata kerja transitif, sedangkan mandi merupakan kata kerja intransitif. Padahal, hanya kalimat aktif yang transitif yang dapat dipasifkan. Oleh karena itu, kalimat (29) merupakan kalimat aktif dan kalimat pasif sekaligus. Kalimat (12) dianggap kalimat aktif dengan konstuksi pola S/P/O, yakni S untuk saya, P untuk makan, dan O untuk roti. Bila kalimat itu dianggap kalimat pasif inversi, konstruksi polanya adalah P/S dengan P saya makan dan S roti. Dalam ragam tulisan kedua konstruksi tersebut tidak berbeda, namun dalam pelafalan keduanya dapat dibedakan dengan meletakkan jeda yang berbeda.

Bila dilafalkan, kalimat (31) merupakan kalimat aktif, sedangkan kalimat (32) berikut merupakan kalimat pasif,

(31) Saya / makan roti.

(32) Saya makan / roti.

Dengan demikian perlu ditegaskan lagi bahwa pengertian aktif dan pasif dalam kalimat menyangkut beberapa hal. Beberapa hal dimaksud berkaitan dengan : (1) macam verba yang menjadi predikat, (2) subjek dan objek, dan (3) bentuk verba yang dipakai (Alwi, 1998). Perhatikan kalimat berikut.

(33) Pak Toha mengangkat seorang asisten baru.

(34) Ibu Gubernur akan membuka pameran itu.

(35) Pak Saleh harus memperbaiki dengan segera rumah tua itu.

(36) Kamu dan saya harus menyelesaikan tugas ini.

(37) Saya sudah mencuci mobil itu.

(38) Kamu mencium pipi anak itu.

Semua contoh di atas menunjukkan bahwa verba yang terdapat dalam tiap kalimat adalah verba transitif, baik yang ekatransitif maupun yang dwitransitif. Karena kalimat itu transitif, maka paling tidak ada tiga unsur wajib di dalamnya, yakni subjek, predikat, dan objek. Verba transitif yang dipakai adalah dalam bentuk aktif, yakni verba yang memakai prefiks meng-.

3. Kaidah-kaidah Umum Pembentukan Kalimat Pasif dari Kalimat Aktif

Pemasifan dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan dua cara: (1) menggunakan verba berprefiks di- dan (2) menggunakan verba tanpa prefiks di-.

Jika kita gunakan simbol S untuk subjek, P untuk predikat, dan O untuk objek, maka kaidah umum untuk pembetukan kalimat pasif dari kalimat aktif dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

a. Cara Pertama

(1) Pertukarkanlah S dengan O.

(2) Gantilah prefiks meng- dengan di- pada P.

(3) Tambahkan kata oleh di muka unsur yang tadinya S.

Marilah kita terapkan kaidah pemasifan cara pertama itu pada bentuk kalimat (33) di atas.

(39) Pak Toha mengangkat seorang asisten baru.

a. *Seorang asisten baru mengangkat Pak Toha. (Kaidah a.1)

b. Seorang asisten baru diangkat Pak Toha. (Kaidah a.2)

c. Seorang asisten baru diangkat oleh Pak Toha. (Kaidah a.3)

Dengan cara yang sama, kita dapat pula memperoleh kalimat pasif (40) sebagai padanan kalimat aktif (34) di atas.

(40) Pameran itu akan dibuka oleh Ibu Gubernur.

Keberterimaan kalimat (39b) dan (39c) menunjukkan bahwa kehadiran bentuk oleh pada kalimat pasif bersifat manasuka. Akan tetapi, jika verba predikat tidak diikuti langsung oleh pelengkap pelaku (yang sebelumnya subjek kalimat aktif), maka bentuk oleh wajib hadir. Atas dasar itulah maka bentuk (41a) berikut kita terima, sedangkan bentuk (41b) kita tolak sebagai bentuk pasif kalimat (35) di atas.

(41) a. Rumah tua itu harus diperbaiki dengan segera oleh Pak Saleh.

b. *Rumah tua itu harus diperbaiki segera Pak Saleh.

Pemasifan dengan cara pertama itu umumnya digunakan jika subjek kalimat aktif berupa nomina atau frasa nominal seperti terlihat pada contoh (33-35) di atas; jika subjek kalimat aktif berupa pronominal persona, padanan pasifnya umumnya dibentuk dengan cara kedua. Akan tetapi, kalau subjek kalimat aktif itu berupa gabungan pronominal dengan pronominal atau frasa lain, maka padanan pasifnya dibentuk dengan cara pertama itu. Karena itulah maka bentuk (42a) kita terima, sedangkan bentuk (42b), yang dibentuk dengan cara kedua, kita tolak sebagai bentuk pasif kalimat (36) di atas. Perlu dicatat bahwa kehadiran oleh pada (42a) berikut wajib.

(42) a. Tugas itu harus diselesaikan oleh kamu dan saya.

b. *Tugas itu harus kamu dan saya selesaikan.

b. Cara Kedua

Seperti telah disinggung di atas, padanan pasif dari kalimat aktif transitif yang subjeknya berupa pronominal dibentuk dengan cara kedua. Adapun kaidah pembentukan kalimat pasif cara kedua itu adalah sebagai berikut.

(1) Pindahkan O ke awal kalimat.

(2) Tanggalkan prefiks meng­- pada P.

(3) Pindahkan S ke tempat yang tepat sebelum verba.

Marilah kita terapkan kaidah pemasifan cara kedua itu pada bentuk kalimat (37) di atas.

(43) Saya sudah mencuci mobil itu.

a. *Mobil itu saya sudah mencuci (Kaidah b.1)

b. *Mobil itu saya sudah cuci. (Kaidah b.2)

c. Mobil itu sudah saya cuci. (Kaidah b.3)

Dengan cara yang sama, kita dapat pula memperoleh bentuk pasif (44) sebagai padanan kalimat aktif (38) di atas.

(44) Pipi anak itu kamu cium.

Jika subjek kalimat aktif transitif berupa pronominal persona ketiga atau nama diri yang relatif pendek, maka padanan pasifnya dapt dibentuk dengan cara pertama atau kedua seperti tampak pada contoh berikut.

(45) a. Mereka akan membersihkan ruangan ini.

b.i. Ruangan ini akan dibersihkan (oleh) mereka.

ii. Ruangan ini akan mereka bersihkan.

(46) a. Dia sudah membaca buku itu.

b.i. Buku itu sudah dibaca olehnya/(oleh) dia.

ii. Buku itu sudah dibacanya/ dia baca.

(47) a. Ayah belum mendengar berita duka itu.

b.i. Berita duka itu belum didengar (oleh) Ayah.

ii. Berita duka itu belum Ayah dengar.

Apabila subjek kalimat aktif transitif itu panjang, maka padanan kalimat pasifnya dibentuk dengan cara pertama. Jadi, bentuk seperti Berita duka itu belum didengar oleh Susilowati Hamid tidak dapat diubah menjadi *Berita duka itu belum Susilowati Hamid dengar.

Perlu dicatat bahwa pembentukan kalimat pasif dengan cara kedua dari kalimat aktif transitif yang subjeknya berupa pronominal persona ketiga atau nama diri pada umumnya terbatasa pada pemakaian sehari-hari. Pronomina aku, engkau, dan dia (yang mengikuti predikat) pada kalimat pasif cenderung dipendekkan menjadi ku-, kau-, dan –nya seperti tampak pada contoh berikut.

(48) a.i. Surat itu baru aku terima kemarin.

ii. Surat itu baru kuterima kemarin.

b.i. Buku ini perlu engkau baca.

ii. Buku ini perlu kaubaca.

c.i. Pena saya dipinjam oleh dia.

ii. Pena saya dipinjamnya.

iii. Pena saya dipinjam olehnya.

Perubahan kalimat aktif transitif yang mengandung kata seperti ingin atau mau cenderung menimbulkan pergeseran makna. Perhatikan contoh berikut.

(49) a. Andi ingin mencium Tuti.

b. Tuti ingin dicium Andi.

Pada kalimat aktif (49a) jelas bahwa yang ingin melakukan perbuatan mencium adalah Andi, tetapi pada (49b) orang cenderung menafsirkan bahwa yang menginginkan ciuman itu adalah Tuti dan bukan Andi. Tafsiran makna kalimat pasif yang berbeda dengan makna padanan kalimat aktif itu timbul karena kodrat kata ingin yang cenderung dikaitkan dengan unsur di sebelah kiri yang mendahuluinya. Hal ini tampak lebih nyata pada keganjilan pasangan kalimat Anda ingin mencuci mobilnya- *Mobilnya ingin dicuci Andi.

Arti pasif dapat pula bergabung dengan unsur lain seperti unsur ketaksengajaan. Jika kalimat aktif diubah menjadi kalimat pasif dan dalam kalimat pasif itu terkandung pula pengertian bahwa perbuatan yang dinyatakan oleh verba itu mengandung unsur yang tak sengaja, maka bentuk prefiks yang dipakai untuk verba bukan lagi di-, melainkan ter-. Perhatikan perbedaan kalimat (a) dan (b) yang berikut ini.

(50) a. Penumpang bus itu dilempar ke luar.

b. Penumpang bus itu terlempar ke luar.

(51) a. Dia dipukul kakaknya.

b. Dia terpukul kakaknya.

Kalimat (a) menunjukkan bahwa seseorang melakukan perbuatan itu dengan niat dan kesengajaan. Sebaliknya, kalimat (b) mengacu ke suatu keadaan atau ketaksengajaan si pelaku perbuatan. Pada (50b) mungkin saja penumpang tadi terlempar oleh orang lain, atau mungkin juga oleh guncangan bus yang terlalu besar.

Di samping makna ketaksengajaan itu, verba pasif yang memakai ter- juga dapat menunjukkan kekodratan; artinya, kita tidak memasalahkan siapa yang melakukan perbuatan tersebut sehingga seolah-olah sudah menjadi kodratlah bahwa sesuatu harus demikian keadaannya. Sebagai contoh, perhatikanlah kalimat yang berikut.

(52) Gunung Merapi terletak di Pulau Jawa.

(53) Soal ini terlepas dari rasa senang dan tidak senang.

Pada contoh itu tidak ada unsur sengaja atau tidak sengaja, dan kita pun tidak memasalahkan siapa yang meletakkan gunung itu atau yang melepaskan soal ini.

Bentuk kalimat pasif lain yang bermakna adversatif tampak pada contoh (54) dan (55). Di sini perlu ditekankan bahwa makna kalimat predikatnya memakai ke-an ini adalah pasif dengan tambahan makna adversatif, yakni makna yang tidak menyenangkan. Perhatikan pasangan kalimat berikut.

(54) a. Soal itu diketahui oleh orang tuanya.

b. Soal itu ketahuan oleh orang tuanya.

(55) a. Partai kita dimasuki unsur kiri.

b. Partai kita kemasukan unsur kiri.

4. ’Konstruksi’ Pasif Menurut Bambang Kaswanti Purwo

Dalam makalahnya yang berjudul ”Perkembangan Sintaksis Indonesia’, Bambang Kaswanti Purwo (BKP) secara terang-terangan menyatakan bahwa ia tidak mau melibatkan diri pada persoalan ada tidaknya ’konstruksi’ pasif di dalam bahasa Indonesia. Ia hanya mencontohkan bahwa ’konstruksi’ pada (57) dan (58) adalah ’konstruksi’ pasif, sedangkan ’konstruksi’ pada (56) adalah ’konstruksi’ aktif.

(56) mengambil buah apel itu

(57) a. Buah apel itu diambil oleh si Dul.

b. Buah apel itu diambil olehnya.

c. Buah apel itu diambilnya.

(58) a. Buah apel itu dia ambil.

b. Buah apel itu kuambil.

c. Buah apel itu kamu ambil.

Untuk keperluan khusus, ’konstruksi’ pada (56) dirujuknya sebagai ’konstruksi’ men-, ’konstruksi’ pada (57) sebagai ’konstruksi’ di-, dan ’konstruksi’ pada (58) sebagai ’konstruksi’ Ø. Sebagaimana yang terpapar pada ’konstruksi’ (56), (57), dan (58), untuk agen persona ketiga dapat digunakan ’konstruksi’ di- ataupun Ø, sedangkan untuk agen persona pertama atau kedua hanya dapat dipakai ’konstruksi’ Ø.

Lebih lanjut BKP menjelaskan bahwa ’konstruksi’ pasif dapat dibedakan antara yang memiliki agen dan yang tidak. Contoh (59) dan (60) berikut adalah contoh ’konstruksi’ pasif tanpa agen, sedangkan (61) dan (62) adalah contoh ’konstruksi’ pasif dengan agen.

a. [...] dan waktu ia menekur hendak melihat selopnya ia dipukul dari belakang.

b. Tapi setelah diadakan penyelidikan saksama sebulan kemudian, ternyata bahwa wakil tentara itu [...]

c. Dan garis itu dijaga oleh beberapa anggota tentara yang berdisiplin.

d. Dan setelah pamili ini agak berada sedikit, kamar itu dipakainya sebagai kandang anjing yang baru dibelinya.

5. Penutup

Demikianlah, telah diuraikan kalimat aktif dan kalimat pasif. Simpulan yang dapat diambil adalah bahwa konsep kalimat aktif dan kalimat aktif sepintas lalu seolah berbeda-beda bergantung pandangan tertentu. Walaupun demikian, bisa disimpulkan bahwa konsep ’aktif-pasif’ ditentukan berdasarkan peran fungsi sintaksis, terutama subjeknya. Pada kalimat aktif, subjek (S) berperan sebagai pelaku, sedangkan pada kalimat pasif, S berperan sebagai penderita.

Pemasifan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara pertama dan cara kedua. Cara pertama dilakukan dengan tahap 1) Pertukarkanlah S dengan O,

2) Gantilah prefiks meng- dengan di- pada P, dan 3) Tambahkan kata oleh di muka unsur yang tadinya S. Cara kedua dilakukan dengan tahap 1) Pindahkan O ke awal kalimat, 2) Tanggalkan prefiks meng­- pada P, dan 3) Pindahkan S ke tempat yang tepat sebelum verba.

Istilah ’kalimat’ tidak dipakai oleh Bambang Kaswanti Purwo untuk menunjuk ’kalimat aktif-pasif’. Untuk keperluan khusus,ia menggunakan istilah ’konstruksi men-’ untuk menyebut kalimat aktif, ’konstruksi di- dan ’konstruksi Ø’untuk kalimat pasif. Istilah ’agen’ pun lebih dipilihnya daripada istilah ’pelaku’ dalam ’konstruksi’ di- dan Ø’. Berkaitan dengan hal itu, ia membedakan ’kontruksi’ pasif atas ’konstruksi’ pasif tanpa agen dan ’konstruksi’ pasif dengan agen.

Rujukan

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka.

Depdiknas. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi Bahasa Indonesia. ( Buku: Bahasa dalam Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia). Jakarta: Depdiknas.

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Grasindo.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1996. Bahasa Nasional Kita. (makalah Perkembangan Sintaksis Bahasa Indonesia). Bandung: ITB Bandung.

MENGAPA HARUS KALIMAT PASIF?

JUDUL di atas rasanya sering dipikirkan atau bahkan diutarakan oleh rekan-rekan guru dalam beberapa pelatihan setelah penulis menyatakan bahwa kalimat Saya baca buku merupakan kalimat pasif. Bukankah kalimat tersebut merupakan kalimat aktif sebab saya yang memiliki peran sebagai pelaku berfungsi sebagai subjek (S), baca sebagai predikat (P), dan bukusebagai objek (O)? Tampaknya, hamper semua orang menyatakan persetujuannya terhadap alasan tersebut saat penulis menanyakan jenis kalimat apa itu dan apa alasannya.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, penulis menyodorkan kalimat bandingannya, yakni sebagai berikut.

(1) Saya membaca buku.

Kalimat aktif atau pasifkah kalimat di atas? Rekan-rekan guru saat itu serentak menyatakan bahw itu kalimat aktif. Benar. Mengapa demikian? Mereka menyatakan bahwa P-nya berawalan me- dan saya sebagai S menjadi pelaku serta buku sebagai O yang menderita. Kali ini mereka memang benar. Penulis bertanya lagi kepada mereka, “Apakah kalimat itu aktif transitif atau intransitif?” Mereka menjawab serentak bahwa kalimat (1) merupakan kalimat aktif transitif. Bukankah dengan demikian kalimat tersebut seharusnya dapat dipasifkan? Serentak banyak orang menyatakan dapat. Kali ini mereka juga benar. Bagaimana bentuk pasifnya? Ada yang menyatakan seperti (2) berikut.

*(2) Buku dibaca (oleh) saya.

Benarkah struktur kalimat tersebut? Nah, untuk memahaminya lebih lanjut perhatikan kalimat berikut yang memiliki struktur seperti (2).

(3) Buku dibaca (oleh) ayah.

Bagaimanakah struktur kalimat (3)? Itu kalimat pasif. Alasannya adalah buku yang menjadi penderita berfungsi sebagai S, dibaca sebagai P, dan ayah sebagai O. Kalimat tersebut dapat dikembalikan pada bentuk aktifnya yakni sebagai berikut.

(4) Ayah membaca buku.

Kalimat aktif (4) sebenarnya memiliki struktur yang sama dengan (1). Karena bentuk kalimat pasif (3), yang berasal dari (4), benar adanya, seharusnya bentuk kalimat pasif (2), yang berasal dari (1), juga benar. Ini yang keliru. Meskipun kalimat (4) dan (1) berstruktur sama, S yang menjadi pelaku pada keduanya berbeda. S pada (4) merupakan persona ketiga, sedangkan pada (1) merupakan persona pertama. Karena itu, seharusnya pemasifan kalimat (1) menghasilkan (5) berikut.

(5) Buku saya baca.

Sekarang yang menjadi masalah adalah bagaimanakah fungtor-fungtor kalimatnya? Buku pada (5) adalah S dan saya baca merupakan P bukan buku sebagai O, saya sebagai S, dan baca sebagai P sebagaimana yang banyak diutarakan rekan-rekan guru kala itu. Bukankah dalam kalimat pasif S adalah penderita? Dalam hal ini buku adalah penderita. Karena itu, buku merupakan S. Saya memang pelaku, namun pelaku dalam kalimat pasif tidak pernah menduduki fungsi sebagai S. Selanjutnya, mengapa saya baca menduduki satu fungsi sebagai P? Ya, sebab saya baca merupakan satu frase, yakni frase verba. Untuk membuktikannya, perhatikan kalimat berikut.

(6) Saya telah membaca buku.

Bentuk pasif untuk kalimat (6) adalah (7) berikut.

(7) Buku telah saya baca.

Munculnya aspek telah pada (6) ternyata tidak menyebabkan terpisahnya antara saya dan baca pada bentuk pasif (7). Hal itu mengindikasikan hubungan yang erat di antara saya dan baca. Dengan demikian, pada (7) buku adalah S dan telah saya baca adalah P. Bentuk frase telah saya baca tersebut sejajar dengan telah dibaca pada (9), yang berasal dari kalimat aktif (8) berikut.

(8) Ayah telah membaca buku.

(9) Buku telah dibaca (oleh) ayah.

Pada (9) kata oleh bersifat fakultatif (tidak wajib hadir); bahkan andaikata oleh ayah pun dapat ditiadakan, kalimat itu tetap benar.

Jika kalimat (5) merupakan kalimat pasif, bagaimana halnya dengan kalimat Saya baca buku di atas atau kita kutip di sini sebagai (10)?

(10) Saya baca buku.

Tentu saja, kalimat (10) merupakan kalimat pasif dengan susunan inversi sebab P-nya mendahului S. Yang menarik di sini adalah kemiripan struktur kalimat aktif transitif yang pelakunya persona pertama, seperti (1) dengan kalimat pasif inversinya, seperti (10) di atas. Yang membedakan di antara keduanya adalah tidak hadirnya prefiks me- pada bentuk pasif.

Nah, dengan kenyataan di atas, bagaimana menurut Anda struktur kalimat (11) berikut? Struktur kalimat aktifkah kalimat (11) tersebut?

(11) Kamu baca buku.

Jika Anda memperhatikan (10), Anda akan sependapat bahwa kalimat (11) merupakan kalimat pasif inversi. Untuk menguji jawaban Anda, sebaiknya perhatikan dulu bentuk bandingannya yang berupa kalimat aktif pada (12) berikut.

(12) Kamu membaca buku.

Kalimat aktif transitif (12) bila dipasifkan akan menghasilkan (13) atau (14) berikut dan bukan *(15).

(13) Buku kamu baca.

(14) Buku kaubaca.